Sabtu, 20 Oktober 2012

Perubahan Paradigma Resusitasi Jantung Paru: “From ABC to CAB”


Perubahan Paradigma Resusitasi Jantung Paru: “From ABC to CAB”
Marlisa,S.Kep,Ns,M.Kep
I.       Pendahuluan
Dalam Jurnal Circulation American Heart Association (AHA), yang diterbitkan 2 November 2010, mempublikasikan Pedoman Cardiopulmonary Resucitation (CPR) dan Perawatan Darurat Kardiovaskular 2010. Seperti kita ketahui, para ilmuwan dan praktisi kesehatan terus mengevaluasi CPR atau yang lebih kita kenal dengan Resusitasi Jantung Paru (RJP) ini dan mempublikasikannya setiap 5 tahun.
       Evaluasi dilakukan secara menyeluruh mencakup urutan dan prioritas langkah-langkah CPR dan disesuaikan dengan kemajuan ilmiah saat ini untuk mengidentifikasi faktor yang mempunyai dampak terbesar pada kelangsungan hidup. Atas dasar kekuatan bukti yang tersedia, mereka mengembangkan rekomendasi yang hasilnya menunjukkan paling menjanjikan.
Rekomendasi 2010 Pedoman mengkonfirmasi keamanan dan efektivitas dari banyak pendekatan, mengakui ketidakefektifan orang lain, dan memperkenalkan perawatan baru berbasis evaluasi bukti intensif dan konsensus para ahli. Kehadiran rekomendasi baru ini tidak untuk menunjukkan bahwa pedoman sebelumnya tidak aman atau tidak efektif, melainkan untuk menyempurnakan rekomendasi terdahulu.
II.    PEDOMAN RESUSITASI JANTUNG PARU TERBARU 2010
Setelah mengevaluasi berbagai penelitian yang telah dipublikasi selama lima tahun terakhir AHA mengeluarkan Panduan RJP 2010. Fokus utama RJP 2010 ini adalah kualitas kompresi dada. Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara Panduan RJP 2005 dengan RJP 2010.
1.    Bukan lagi ABC, melainkan CAB
•    AHA 2010 (new)
“A change in the 2010 AHA Guidelines for CPR and ECC is to reccomend the initiation of chest compression before ventilation.”

•    AHA 2005 (old)
“The sequence of adult CPR began with opening of the airway, checking for normal breathing, and then delivering 2 rescue breaths followed by cycles of 30 chest compressions and 2 breaths.”
      Sebelumnya dalam pedoman pertolongan pertama, kita mengenal ABC: Airway, Breathing, Ciculation (Chest Compression) yaitu buka jalan nafas, bantuan pernafasan, dan kompresi dada. Pada saat ini, prioritas utama adalah Circulation baru setelah itu tatalaksana difokuskan pada Airway dan selanjutnya Breathing. Satu-satunya pengecualian adalah hanya untuk bayi baru lahir (neonatus), karena penyebab tersering  pada bayi baru lahir yang tidak sadarkan diri dan tidak bernafas adalah karena masalah jalan nafas (asfiksia). Sedangkan untuk yang lainnya, termasuk RJP pada bayi, anak, ataupun orang dewasa biasanya adalah masalah Circulation kecuali bila kita menyaksikan sendiri korban tidak sadarkan diri karena masalah selain Circulation harus menerima kompresi dada sebelum kita berpikir memberikan bantuan jalan nafas.
2.    Tidak ada lagi Look, Listen, and Feel
•    AHA 2010 (new)
“Look, listen, and feel for breathing was removed from the sequence for assessment of breathing after opening the airway. The healthcare provider briefly checks for breathing when checking responsiveness to detect signs of cardiac arrest. After delivery of 30 compressions, the home rescuer opens the victim’s airway and delivers 2 breaths.”
•    AHA 2005 (old)
“Look, listen, and feel for breathing was used to assess breathing after the airway was opened.”
        Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti jantung adalah Bertindak bukan Menilai. Telepon ambulan segera saat kita melihat korban tidak sadar dan tidak bernafas dengan baik (gasping). Percayalah pada nyali Anda. Jika Anda mencoba menilai korban bernapas atau tidak dengan mendekatkan pipi Anda pada mulut korban, itu boleh-boleh saja. Tapi tetap saja sang korban tidak bernafas dan tindakan look listen and feel ini hanya akan menghabiskan waktu.
3.    Tidak ada lagi Resque Breath
•    AHA 2010 (new)
“Beginning CPR with 30 compressions rather than  2 ventilations leads to a shorter delay to first compression”
        Resque breath adalah tindakan pemberian napas buatan sebanyak dua kali setelah kita mengetahui bahwa korban henti napas (setelah Look, Listen, and Feel). Pada AHA 2010, hal ini sudah dihilangkan karena terbukti menyita waktu yang cukup banyak sehingga terjadi penundaan pemberian kompresi dada.
4.    Kompresi dada lebih dalam lagi
•    AHA 2010 (new)
“The adult sternum should be depressed at least 2 inches (5 cm)”

•    AHA 2005 (old)
“The adult sternum should be depressed 11/2 to 2 inches (approximately 4 to 5 cm).”
      Pada pedoman RJP sebelumnya, kedalaman kompresi dada adalah 1 ½ - 2 inchi (4 – 5 cm), namun sekarang AHA merekomendasikan untuk melakukan kompresi dada dengan kedalaman minimal 2 inchi (5 cm).
5.    Kompresi dada lebih cepat lagi
•    AHA 2010 (new)
“It is reasonable for lay rescuers and healthcare providers to perform chest compressions at a rate of at least 100x/min.”

•    AHA 2005 (old)

“Compress at a rate of about 100x/min.”
       AHA mengganti redaksi kalimat disini sebelumnya tertulis: tekan dada sekitar 100 kompresi/ menit. Sekarang AHA merekomendasikan kita untuk kompresi dada minimal 100 kompresi/ menit. Pada kecepatan ini, 30 kompresi membutuhkan waktu 18 detik.
6.    Hands only CPR
•    AHA 2010 (new)
“Hands-Only (compression-only) bystander CPR substantially improves survival following adult out-of-hospital cardiac arrests compared with no bystander CPR.”



     AHA mendorong RJP seperti ini pada tahun 2008. Dan pada pedoman tahun 2010 pun AHA masuh menginginkan agar penolong yang tidak terlatih melakukan Hands Only CPR pada korban dewasa yang pingsan di depan mereka. Pertanyaan terbesar adalah: apa yang harus dilakukan penolong tidak terlatih pada korban yang tidak pingsan di depan mereka dan korban yang bukan dewasa? AHA memang tidak memberikan jawaban tentang hal ini, namun ada saran sederhana disini: berikan Hands Only CPR, karena berbuat sesuatu lebih baik daripada tidak berbuat sama sekali

7.    Pengaktivasian Emergency Response System (ERS)

•    AHA 2010 (new)
“Check for response while looking at the patient to determine if breathing is absent or not normal. Suspect cardiac arrest if victim is not breathing or only gasping.”

•    AHA 2005 (old)

“Activated the emergency response system after finding an unresponsive victim, then returned to the victim and opened the airway and checked for breathing or abnormal breathing.”
      Pada pedoman AHA yang baru, pengaktivasian ERS seperti meminta pertolongan orang di sekitar, menelepon ambulans, ataupun menyuruh orang untuk memanggil bantuan tetap menjadi prioritas, akan tetapi sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan kesadaran dan ada tidaknya henti nafas (terlihat tidak ada nafas/ gasping) secara simultan dan cepat.
8.    Jangan berhenti kompresi dada
•    AHA 2010 (new)
“The preponderance of efficacy data suggests that limiting the frequency and duration of interruptions in chest compressions may improve clinically meaningful outcomes in cardiac arrest patients.”
       Setiap penghentian kompresi dada berarti menghentikan aliran darah ke otak yang mengakibatkan kematian jaringan otak jika aliran darah berhenti terlalu lama. Membutuhkan beberapa kompresi dada untuk mengalurkan darah kembali. AHA menghendaki kita untuk terus melakukan kompresi selama kita bisa atau sampai alat defibrilator otomatis datang dan siap untuk menilai keadaan jantung korban. Jika sudah tiba waktunya untuk pernapasan dari mulut ke mulut, lakukan segera dan segera kembali melakukan kompresi dada. Prinsip Push Hard, Push Fast, Allow complete chest recoil, and Minimize Interruption masih ditekankan disini. Ditambahkan dengan Avoiding excessive ventilation.
9.    Tidak dianjurkan lagi Cricoid Pressure
•    AHA 2010 (new)
“The routine use of cicoid pressure in cardiac arrest is not recommended.”
•    AHA 2005 (old)
“Cricoid pressure should be used only if the victim is deeply unconscious, and it usually requires a third rescuer not involved in rescue breaths or compressions.”
      Cricoid pressure dapat menghambat atau mencegah pemasangan jalan nafas yang lebih adekuat dan ternyata aspirasi tetap dapat terjadi walaupun sudah dilakukan cricoid pressure. Cricoid pressure merupakan suatu metode penekanan tulang rawan krikoid yang dilakukan pada korban dengan tingkat kesadaran sangat rendah, hal ini pada pedoman AHA 2005 diyakini dapat mencegah terjadinya aspirasi dan hanya boleh dilakukan bila terdapat penolong ketiga yang tidak terlibat dalam pemberian nafas buatan ataupun kompresi dada.
10.    Pemberian Precordial Thump
•    AHA 2010 (new)
“The precordial thump should not be used for unwitnessed out-of-hospital cardiac arrest. The precordial thump may be considered for patients with witnessed, monitored, unstable VT (including pulseless VT) if a defibrillator is not immediately ready for use, but it should not delay CPR and shock delivery.”
•    AHA 2005 (old)
“No recommendation was provided previously.”
      Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa precordial thump dapat mengembalikan irama ventricular tachyarrhytmias ke irama sinus. Akan tetapi pada sejumlah besar kasus lainnya, precordial thump tidak berhasil mengembalikan korban dengan ventricular fibrillation ke irama sinus atau kondisi Return of Spontaneous Circulation (ROSC). Kemudian terdapat banyak laporan yang menyebutkan terjadinya komplikasi akibat pemberian precordial thump seperti fraktur sternum, osteomyelitis, stroke, dan bahkan bisa mencetuskan aritmia yang ganas pada korban dewasa dan anak-anak. Pemberian precordial thump boleh dipertimbangkan untuk dilakukan pada pasien dengan VT yang disaksikan, termonitor, tidak stabil, dan bila defibrilator tidak dapat disediakan dengan segera. Dan yang paling penting adalah precordial thump tidak boleh menunda pemberian RJP atau defibrilasi.
III.    PENUTUP
Dengan adanya pedoman resusitasi jantung paru terbaru ini, diharapkan dapat meningkatkan angka harapan hidup pada korban dengan henti jantung. Selain itu, pedoman ini juga lebih praktis dan relatif mudah untuk dipahami dan dilakukan sehingga dapat diajarkan kepada masyarakat awam sekalipun. Semakin banyak orang yang memahami dan mampu untuk melakukan resusitasi, maka semakin banyak pula korban henti jantung yang dapat terselamatkan. Disini penulis juga bersedia untuk berbagi pengetahuan dan ketrampilan terutama tentang pedoman resusitasi terbaru ini baik dalam pelatihan maupun seminar dan diskusi. Semoga bermanfaat. KOSTRAD.
Referensi
     Andrew H, Travers. Thomas D, Rea. Bentley J, Bobrow et al. CPR Overview: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S676-S684
     Diana M, Cave. Raul J, Gazmuri. Charles W, Otto et al. CPR Techniques and Devices: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S720-S728
     Robert A, Berg. Robin, Hemphill. Benjamin S, Abella. Tom et al. Adult Basic Life Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S685-S705

CPR (NEW GUIDELINE AHA 2010)

CPR (NEW GUIDELINE AHA 2010)
Marlisa ,S.Kep,Ns,M.Kep

American Heart Association (AHA) baru-baru ini telah mempublikasikan pedoman cardio pulmonary resuscitation dan perawatan darurat kardiovaskular 2010. Seperti kita ketahui, para ilmuan dan praktisi kesehatan terus mengeavaluasi CPR atau yang lebih kita kenal dengan RJP ini dan mempublikasikannya setiap 5 tahun.
Evaluasi dilakukan secara menyeluruh mencakup urutan dan prioritas langkah-langkah CPR dan disesuaikan dengan kemajuan ilmiah saat ini unutk mengidentifikasi faktor yang mempunyai dampak terbesar pada kelangsungan hidup. Atas dasar kekuatan bukti yang tersedia, mereka mengembangkan rekomendasi untuk mendukung intervensi yang hasilnya menunjukkan paling menjanjikan.
Rekomendasi di 2010 Pedoman mengkonfirmassi keamanan dan efektifitas dari banyak pendekatan, mengakui ketidakefektifan orang lain fan memperkenalkan perawatan baru berbasis evaluasi bukti intensif dan konsesnsus para ahli. Kehadiran rekomendasi baru ini tidak untuk menunjukkan bahwa pedomansebelumnya tidak aman atau tidak efektif.
Setelah mengevaluasi berbagai penelitian yang telah dipublikasi selama lima tahun terakhir AHA mengeluarkan Panduan Resusitasi Jantung Paru (RJP) 2010. Faokus utama RJP 2010 ini adalah kualitas kompresi dada. Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara Panduan RJP 2005 dengan RJP 2010.

1. Bukan ABC lagi tapi CAB
Sebelumnya dalam pedoman pertolongan pertama, kita mengenal ABC : airway, breathing dan chest compressions, yaitu buka jalan nafas, bantuan pernafasan, dan kompresi dada. Saat ini kompresi dada didahulukan, baru setelah itu kita bisa fokus pada airway dan breathing. Pengecualian satu-satunya adalah hanya untuk bayi baru lahir. Namun untuk RJP bayi, RJP anak, atau RJP dewasa, harus menerima kompresi dada sebelum kita berpikir memberikan bantuan jalan nafas.

2. Tidak ada lagi look, listen dan feel
Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti jantung adalah dengan bertindak, bukan menilai. Telepon ambulans segera saat kita melihat korban tidak sadar dan tidak bernafas dengan baik. Percayalah pada nyali anda, jika anda mencoba menilai korban bernafas atau tidak dengan mendekatkan pipi anda pada mulut korban, itu boleh-boleh saja. Tapi tetap saja sang korban tidak bernafaas dan tindakan look feel listen ini hanya akna menghabiskan waktu

3. Kompresi dada lebih dalam lagi
Seberapa dalam anda harus menekan dada telah berubah pada RJP 2010 ini. Sebelumnya adalah 1 ½ sampai 2 inchi (4-5 cm), namun sekarang AHA merekomendasikan untuk menekann setidaknya 2 inchi (5 cm) pada dada.

4. Kompresi dada lebih cepat lagi
AHA mengganti redaksi kalimat disini. Sebelumnya tertulis: tekanan dada sekitar 100 kompresi per menit. Sekarang AHA merekomndasikan kita untuk menekan dada minimal 100 kompresi per menit. Pada kecepatan ini, 30 kompresi membutuhkan waktu 18 detik.

5. Hands only CPR
Ada perbedaan teknik dari yang tahun 2005, namun AHA mendorong RJP seperti ini pada 2008. AHA masih menginginkan agar penolong yang tidak terlatih melakukan Hands only CPR pada korban dewasa yang pingsan di depan mereka. Pertanyaan besarnya adalah: apa yang harus dilakukan penolong tidak terlatih pada korban yang tidak pingsan di depan mereka dan korban yang bukan dewasa/ AHA memang tidak memberikan jawaban tentang hal ini namun ada saran sederhana disini: berikan hands only CPR karena berbuat sesuatu lebih baik daripda tidak berbuat sama sekali.

6. Kenali henti jantung mendadak
RJP adalah satu-satunya tata laksana untuk henti jantung mendadak dan AHA meminta kita waspada dan melakukan RJP saat itu terjadi.

7. Jangan berhenti menekan
Setiap penghentian menekan dada berarti menghentikan darah ke otak yang mengakibatkan kematian jaringan otak jika aliran darah berhenti terlalu lama. Membutuhkan beberapa kompresi dada untuk mengalirkan darah kembali. AHA menghendaki kita untuk terus menekan selama kita bisa. Terus tekan hingga alat defibrilator otomatis datang dan siap untuk menilai keadaan jantung. Jika sudah tiba waktunya untuk pernafasan dari mulut ke mulut, lakukan segera dan segera kembali pada menekan dada.

Tanggal 18 obtober 2010 lalu AHA (American Hearth Association) mengumumkan perubahan prosedur CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation) atau dalam bahasa Indonesia disebut RJP (Resusitasi Jantung Paru) yang berbeda dari prosedur sebelumnya yang sudah dipakai dalam 40 tahun terakhir. Perubahan tersebut ada dalam sistematikanya, yaitu sebelumnya menggunakan A-B-C (Airway-Breathing-Circulation) sekarang menjadi C-A-B (Circulation – Airway – Breathing).  Namun perubahan yang ditetapkan AHA tersebut hanya berlaku pada orang dewasa, anak, dan bayi. Perubahan tersebut tidak berlaku pada neonatus.
Perubahan tersebut menurut AHA adalah mendahulukan pemberian kompresi dada dari pada membuka jalan napas dan memberikan napas buatan pada penderita henti jantung. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa teknik kompresi dada lebih diperlukan untuk mensirkulasikan sesegera mungkin oksigen keseluruh tubuh terutama organ-organ vital seperti otak, paru, jantung dan lain-lain.

Menurut penelitian AHA, beberapa menit setelah penderita mengalami henti jantung masih terdapat oksigen pada paru-paru dan sirkulai darah. Oleh karena itu memulai kompresi dada lebih dahulu diharapkan akan memompa darah yang mengandung oksigen ke otak dan jantung sesegera mungkin. Kompresi dada dilakukan pada tahap awal selama 30 detik sebelum melakukan pembukaan jalan napas (Airway) dan pemberian napar buatan (bretahing) seperti prosedur yang lama.
AHA selalu mengadakan review “guidelines” CPR setiap 5 tahun sekali. Perubahan dan review terakhir dilakukan pada tahun 2005 dimana terjadi perubahan perbandingan kompresi dari 15 : 2 menjadi 30 : 2.
Dengan perubahan ini AHA merekomendasikan agar segera mensosialisasikan perubahan ini kepada petugas medis, instruktur pelatihan, petugas p3k dan masayarakat umum.
Di dalamnya terdapat materi yang berguna terutama bagi sejawat di emergency unit seperti Neonatal Resuscitation, Pediatric BLS dan ALS, Adults BLS dan ALS, CPR dan First Aid.
 Sumber diambil dari :
American Heart Association 2010 Pedoman untuk Cardiopulmonary Resuscitation

Elektrokardiografi Dasar

Elektrokardiografi ( EKG )
Marlisa, S.Kep,Ns,M.Kep


A.      Prinsip Dasar
Aktivitas elektrik ditimbulkan oleh sel jantung sebagai ion yang bertukar melewati membrane sel
Elektroda yang dapat menghantarkan aktivitas listrik dari jantung ke mesin EKG ditempatkan pada posisi yang strategis di ekstremitas dan precordium dada.
Energi elektrik yang sangat sensitive kemudian diubah menjadi grafik yang ditampilkan oleh mesin EKG. Tampilan ini disebut elektrokardiogram.
Kontraksi jantung direpresentasikan dalam bentuk gelombang pada kertas EKG, dan dinamakan gelombang P, Q, R, S, dan T.
Bentuk gelombang ini ditunjukkan pada defleksi terhadap garis isoelektrik (garis yang menunjukkan tidak adanya energi). Garis isoelektrik dapat ditentukan dengan melihat interval dari T hingga P.
·          Gelombang P adalah defleksi positif yang pertama dan merepresentasikan depolarisasi atrium.
·          Gelombang Q merupakan defleksi negative pertama setelah gelombang P.
·          Gelombang R merupakan defleksi positif pertama setelah gelombang P.
·          Gelombang S merupakan defleksi negative setelah gelombang R.
·          Bentuk gelombang QRS biasanya dilihat sebagai satu unit dan merepresentasikan depolarisasi ventrikel.
·          Gelombang T mengikuti gelombang S dan bergabung dengan kompleks QRS sebagai segmen ST.
·          Gelombang T merepresentasikan kembalinya ion ke dalam sisi (appropriate) dalam membrane sel. Ini sama dengan relaksasi dari serabut otot dan menggambarkan repolarisasi ventrikel.
·          Interfal QT merupakan waktu antara gelombang Q dan gelombang T.

B.      Indikasi
·         Miokardium infark dan tipe penyakit arteri koroner lainnya, seperti angina.
Disritmia jantung
·         Pembesaran jantung.
·         Gangguan elektrolit, terutama kalsium dan kalium.
·         Penyakit inflamasi pada jantung.
·         Efek obat-obatan pada jantung seperti digitalis (lanoxin) dan Tricyclic antidepressants

C.      Lead EKG dan interpretasi gelombang normal
EKG standard terdiri dari 12 leads (I, II, III, aVR, aVL, aVF, V1, V2, V3, V4, V5, V6)
a. Setiap lead mencatat aktivitas elektrik jantung dari posisi anatomi yang
         berbeda
b. Identifikasi dari perubahan miokardium pada lead tertentu dapat membantu
         menentukan kondisi patologis.
Amplitudo normal dari gelombang P kurang lebih 3 mm, durasi normal dari gelombang P adalah 0,04-0,11 detik. Gelombang P yang lebih dari nilai ini diketahui adanya deviasi dari normal.
Interval PR diukur dari naiknya gelombang P ke sambungan QR dan normalnya sekitar 0,12 dan 0,20 detik.
a.      Interval PR merepresentasikan waktu transmisi impuls dari nodus SA ke nodus AV.
b.       Adanya kelambatan pada nodus AV untuk memungkinkan pengisian ventricular yang adekuat untuk mempertahankan stoke volume yang normal (jumlah darah yang dikeluarkan setiap kontraksi).

Kompleks QRS mengandung gelombang dan segmen yang berbeda, yang dapat dievaluasi secara terpisah. Kompleks QRS normalnya sekitar 0,06 dan 0,10 detik.

a)      Gelombang Q, penurunan pertama setelah gelombang P, biasanya dalamnya kurang dari 3 mm. Gelombang Q yang sangat defleksi merupakan keadaan yang tidak normal pada jantung yang sehat. Gelombang Q patologis biasanya mengidentifikasi adanya old MI.
b)      Gelombang R merupakan gelombang defleksi positif pertama setelah gelombang P, normalnya memiliki tinggi sekitar 5-10mm. Peningkatan dan penurunan amplitude menjadi sangat signifikan pada beberapa kondisi penyakit. Hipertropi ventricular akan menimbulkan gelombang R yang sangat tinggi karena hipertropi otot memerlukan arus listrik yang sangat kuat untuk depolarisasi.
c)      Segmen ST dimulai di akhir gelombang S, merupakan defleksi negative pertama setelah gelombang R dan berakhir pada peningkatan gelombang T.
d)      Gelombang T mereprentasikan repolarisasi serabut miokardium atau keadaan istirahat dari kerja miokardium, gelombang T harus selalu ada. Gelombang T normal tidak boleh lebih dari 5 mm pada semua lead, kecuali lead precordial (V1-V6), dimana disini dapat setinggi 10 mm.

D.     Hal-hal yang harus diperhatikan saat perawatan pasien
Lakukan pemeriksaan EKG atau monitor EKG yang terus menerus jika ada indikasi.
a. Berikan privasi dan minta klien untuk melepaskan pakaiannya, terutama di bagian
    dada, pergelangan tangan dan mata kaki.
b. Tempatkan lead pada dada dan ekstremitas sesuai label, gunakan self-adhesive
    electrode atau gel yang larut air atau bahan-bahan pengkonduksi lainnya.
c. Instruksikan klien untuk tetap berbaring, tidak bergerak, batuk atau berbicara saat
    dilakukan pencatatan EKG untuk mencegah terjadinya artifact.
d. Yakinkan mesin EKG telah terpasang pada saklar dan grounded
e. Jika dilakukan monitoring jantung terus menerus, ajarkan klien parameter gerakan
    dan tidak panic ketika terdengar suara alam.

Interpretasi EKG.
a. Tentukan frekuensi denyut jantung. Apakah terlalu cepat, lambat atau normal

1. Penentuan frekuensi denyut jantung dengan cepat dapat dilakukan dengan menghitung jumlah kompleks QRS dalam interval waktu 6 detik dan kalikan kompleks QRS yang didapat dengan 10.
Catatan : Kita harus berhati-hati dengan metode ini, karena metode ini hanya akurat untuk irama yang terjadi dalam interval normal dan tidak dapat digunakan untuk menentukan frekuensi denyut jantung dengan irama yang irregular. Untuk keakuratan, ketidakteraturan irama selalu dihitung untuk setiap 1 menit.

2. Frekuensi denyut jantung juga dapat dihitung dengan membagi 300 dengan jumlah lima kotak besar yang ada diantara 2 kompleks QRS. Tiga ratus blok besar merepresentasikan 1 menit pada kertas EKG.

b. Kemudian tentukan iramanya. Apakah iramanya regular, irregular, regulary irregular atau irregulary irregular ?
c. Akhirnya, perhatikan setiap gelombang dan segmenb untuk melihat adanya abnormalitas.
1. Lihat gelombang P, apakah ada untuk setiap kompleks QRS? Apakah gelombang ini
    tidak ada, seperti pada junction rhythm? Apakah digantikan oleh bentuk
    gelombang lain? Seperti apa bentuknya? Apakah mirip , bentuknya bagus atau
    bentuknya berubah seperti pada fibrilasi atrial atau takikardi atrial paroksimal?
2. Hitung interval PR. Interval PR yang terlalu lama dapat menjadi prekrusor untuk
    berbagai heart block karena terapi obat atau penyakit miokardial.
3. Lihat adanya gelombang Q patologis atau jika waktunya lebih dari 0,04 detik dan
    jika dalamnya lebih dari 3 mm atau lebih besar dari sepertiga tinggi gelombang R.
4. Hitung kompleks S. Apakah mereka identik dalam bentuknya? Apakah mereka
    turun terlalu awal? Apakah bentuknya bervariasi? Apakah ada jarak dan aneh,
    menunjukkan adanya kontraksi ventikular premature?
5. Perhatikan segmen ST. Elevasi segmen ST menunjukkan adanya pola injury dan
    biasanya terjadi pada perubahan awal di miokardial infark akut. ST depresi terjadi
    pada keadaan iskemi. Perubahan kadar kalsium dan kalium juga mempengaruhi
    segmen ST.
6. Lihat gelombang T. Apakah defleksi positif atau negatif? Gelombang T yang
    terbalik mengindikasikan terjadinya iskemia.
7. Hitung interval QT. Interval QT yang normal tidak lebih dari satu setengah interval
    PR. Interval QT yang terlalu lama mengindikasikan toksisitas digitalis, quinidine
    yang terlalu lama (Quinaglute) atau terapi prokainamide (Pronestyl) atau
    hipomagnesia.

E.      Alat dan bahan yang diperlukan
Mesin EKG
Kertas grafik EKG
Jelly
Tissue gulungKapas alcohoL