Selasa, 17 Maret 2015

Askep Guillan Barre Syndrome



Askep Guillain Barre Syndrom
Oleh : Marlisa, M.Kep


Definisi Guillain Barre Syndrom
Guillain Barre Syndrom (GBS) didefinisikan sebagai sebuah penyakit demyelinisasi neurologist. Terjadi secara akut, berkembang dengan cepat. Biasanya mengikuti pola ascending (merambat ke atas) mengenai akar saraf-saraf spinal dan perifer. Terkadang mengenai saraf-saraf cranial. Memiliki rangkaian klinis dengan variabel yang tinggi.  (Symposium Guillain BarreSyndrom, di Brussel, 1937).

Guillain Bare’ Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi biasanya paralisis sementara ( Doenges:369).

Etiologi Guillain Barre Syndrom
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
a.        Infeksi
b.        Vaksinasi
c.        Pembedahan
d.       Penyakit sistematik
e.        Keganasan
f.         Systemic lupus erythematosus
g.        Tiroiditis
h.        Penyakit addison
i.          Kehamilan atau dalam masa nifas

Manifestasi klinis Guillain Barre Syndrom
Sulit dideteksi pada awal kejadian, biasanya : Gejala berupa flu, demam, headache, pegal dan 10 hari kemudian muncul gejala lemah. Selang 1-4 minggu, sering muncul gejala berupa :
a.        Paraestasia (rasa baal, kesemutan)
b.        Otot-otot lemas (pada tungkai, tubuh dan wajah)
c.        Saraf-saraf cranialis sering terjadi patologi, shg  ganguan gerak bola mata, mimik wajah, bicara,
d.       Gangguan pernafasan (kesulitan inspirasi)
e.        Ganggua saraf-saraf otonom (simpatis dan para simpatis)
f.         Gangguan frekuensi jantung
g.        Gangguan irama jantung
h.        Gangguan tekanan darah
i.          Gangguan proprioseptive dan persepsi terhadap tubuh diikuti rasa nyeri pada bagian punggung dan daerah lainnya.

Klasifikasi Guillain Barre Syndrom
a.       Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
b.      Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.
c.       Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.
d.      Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
e.       Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang; dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia.
f.       Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.

Fase  Guillain Barre Syndrom
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase,yaitu:
a.        Fase progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.

b.       Fase plateau. 
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.

c.        Fase penyembuhan 
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

Patofisiologi Guillain Barre Syndrom.
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun ewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setelah proses keradangan terjadi















Pathway Guillain Barre Syndrom

Komplikasi Guillain Barre Syndrom
a.        Kegagalan jantung
b.        Kegagalan pernapasan
c.        Infeksi dan sepsis
d.       Trombosis vena
e.        Emboli paru

Pemeriksaan Diagnostik
a.        Cairan serebrospinalis: meningkatnya kadar protein, limposit normal
b.        Elektromyografi: menurunnya konduksi saraf
c.        Test fungsi paru: menurunya kapasitas vital, perubahan peningkatan pH.

Pemeriksaan Penunjang Guillain Barre Syndrom.
      1.            serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm

      2.            Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.

      3.            Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui.

Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat.

Dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.

      4.            Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar atauinverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.

      5.            Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
      6.            Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).

Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrom
a.    Penatalaksanaan Keperawatan ( Perawatan Supportif)
a).    Respirasi
Monitor ketat frekuensi dan pola nafas yaitu monitor oksimetri dan AGD. Pernafasan mekanik, perawatan pasien dengan ventilator mekanik.
b).    Kardiovaskuler : monitor ketat frekuensi, irama, kekuatan denyut nadi (HR ) dan tekanan darah (blood pressure ).
c).    Pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit dan nutrisi.
d).    Perawatan secara umum :
- physioterapi
- perawatan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan
- pertahankan ROM sendi
- pertahankan fungsi paru
- kultur urine dan sputum tiap 2 minggu
- pencegahan terhadap tromboemboli
- pemberian antidepressant jika pasien depresi

b.    Penatalaksanaan Medis
a).    Pengobatan Spesifik
Plasmas exchange (plasmaphoresis) lebih efektif dalam 7 hari dari timbulnya serangan / gejala. Diperlukan filter khusus yang menyerupai filter pada dialisa ginjal. Filter ini digunakan untuk menyaring keluar antibodi-antibodi (merupakan media dari system imun) yang menyerang dan merusak lapisan myelin dan saraf-saraf perifer. Tak ada pedoman yang pasti dalam melakukan tindakan ini,namun umumnya sekitar 3-5 liter dari plasma pasien disaring keluar dan digantikan pada waktu yang sama dengan plasma atau plasma + normal saline. Setiap hari  setelah terapi selesai, pasien diberi  ± 4-5 unit FFP (Fresh Frozen  Plasma) untuk menggantikan factor pembeku darah yang dapat ikut tersaring keluar. Penggantian plasma diharapkan dilakukan setiap hari selama 3-5 hari dan biasanya berhasil  dengan sangat baik, namun jika pasien tidak berespon terhadap terapi ini  sampai hari ke lima maka terapi / tindakan ini tidak diulangi. Tindakan penggantian plasma ini telah terbukti berhasil mencegah pasien menggunakan ventilator atau mengurangi lamanya pasien menggunakan ventilator.Masalah yang timbul  dengan tindakan penggantian plasma antara lain :
o    Biayanya mahal.
o    Dapat menyebabkan hipotensi, arythmia, haematoma, thrombus dan komplikasi yang mengarah terjadinya sepsis.
o    Membutuhkan perawat yang trampil.
b).    Pemberian immunoglobulin secara intravena yang diberikan dengan dosis 0,4 g/kg selama 5 hari berturut – turut.
c).    Cairan , elektrolit dan nutrisi.
d).    Sedative dan analgetik.



ASUHAN KEPERAWATAN
3.1    Pengkajian
1.      Pengkajian
  Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, statusv
  Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahanv
  Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.v
2.      Pemeriksaan Fisik
  B1 (Breathing)v
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.
  B2 (Bleeding)v
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
  B3 (Brain)v
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.
  B4 (Bladder)v
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
  B5 ( Bowel)v
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
  B6 (Bone) Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.

Pemeriksaan FT
Anamnesis
–  Keluhan utama pasien
       Rasa lemas seluruh badan dan disertai adanya rasa nyeri
       Paraestasia jari kaki s/d tungkai
       Progresive weakness > 1 Ekstremitas
       Hilangnya refleks tendon
–        Pendukung
•         Weakness berkembang cepat dalam 4 minggu
•         Gangguan sensory Ringan
•         Wajah nampak lelah meliputi otot-otot bibir terkesan bengkak
•         Tachicardi, cardiac arytmia, Tekanan Darah labil
•         Tidak ada demam
•         Inspeksi
–        Tampak kelelahan pada wajah
–        Otot-otot bibir terkesan bengkak
–        Kemungkinan adanya atropi
–        Kemungkinan adanya tropic change
•         Palpasi
–        Nyeri tekan pada otot
•         Auskultasi
–        Breathsound terdengar cepat
•         Vital Sign
–        Blood Preasure
•         Labil (selalu berubah-ubah)
–        Heart Rate
•         Tachicardy
•         Cardiac arythmia
–        Respiratory Rate
•         Hyperventilasi

Pemeriksaan Fungsi Gerak  Dasar
•         Aktif
–        Kekuatan otot
•         Pasif
–        Lingkup Gerak Sendi, endfeel

•         Tes Isometrik Melawan Tahanan
–        Pada ketiga tes tersebut dominan menunjukkan adany kelemahan.
–        Gangguan sendi dimungkinkan pada kasus yang telah lama

Prinsip Penanganan
  Pemeliharaan sistem pernapasanü
   Mencegah kontrakturü
   Pemeliharaan ROMü
   Pemeliharaan otot-otot besar yng denervatedü
   Re-edukasi ototü
   Dilakukan sedini mungkinü
•         Deep breathing Exercise
•         Mobilisasi ROM
•         Monitor Kekuatan Otot hingga latihan ktif dapat dimulai
•         Change position untuk mencegah terjadinya decubitus
  Gerak pasif general ekstermitas sebatas toleransi nyeri untukmencegah kontrakturü
   Gentle massage untuk memperlancar sirkulasi darahü
   Edukasi terhadap keluargaü

3.2    Diagnosa keperawatan
1. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2. Resiko tejadi ggn pertukaran gas
3. Ketidakefektifan pola nafas
4. Ggn komunikasi verbal

4. Rencana keperawatan

1.    Dx : Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan peningkatan produksi saliva
Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak terjadi
Tindakan:
- Lakukan perawatan EET setiap 2 jam
- Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction
- Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau SpO2 < 95 %
- Monitor status hidrasi
- Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan
- Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab

2.    Dx : Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek adanya atelektasis paru
Tujuan : Setelah dirawat
- BGA dalam batas normal
- Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+
- Cyanosis (-), SpO2 > 95 %

Tindakan:
- Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam
- Monitor SpO2 setiap jam
- Monitor respirasi dan cyanosis
- Kolaborasi :
• Seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2
• Analisa hasil BGA
3.    Dx. : Resiko tinggi terjadi infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infus
Tujuan : setelah dirawat diharapkan
- Tanda-tanda infeksi (-)
• leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-),
• Suhu tubuh 36,5-37 oC
• Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)
Tindakan :
- Rawat ETT setiap hari
-Lakukan prinsip steril pada saat suction
- Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari
- Ganti kateter setiap 72 jam
- Kolaborasi :
• Pengggantian ETT dengan Tracheostomi
• Penggantian insersi surflo dengan vanocath
• Pemeriksaan leuko
• Pemeriksaan albumin
• Lab UL
• Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg

4.    Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan penyakit GBS
Tujuan : Setelah dirawat
-Kontraktur (-)
- Nutrisi terpenuhi
- Bab dan bak terbantu
- Personal hygiene baik
Tindakan:
- Bantu Bab dab Bak
- Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam
- Mandikan klien setiap hari
- Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam
- Berikan latihan pasif 2 kali sehari
- Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik
- Monitor status neurologi setiap 8 jam
- Kolaborasi:
• Alinamin F 3 X 1 ampul

DAFTAR PUSTAKA

Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan  Holistik.
            Ed,VI. Vol 1. Jakarta: EGC

Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC

Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-mediated
polyradiculoneuropathies. The Neurologist (4);

Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta:  EGC

Hadinoto, S, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Simposium Gangguan Gerak, hal 173-
            179, Badan Penerbit FK UNDIP, Semarang.

Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I : hal 307-310,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Staf Pengajar IKA FKUI, 1985, Sindroma Guillain Barre, dalam : Ilmu Kesehatan Anak, Jilid
 II : ha; 883-885, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.