Askep Guillain Barre Syndrom
Oleh : Marlisa, M.Kep
Definisi Guillain Barre Syndrom
Guillain Barre
Syndrom (GBS)
didefinisikan sebagai sebuah penyakit demyelinisasi
neurologist. Terjadi secara akut, berkembang dengan cepat. Biasanya mengikuti
pola ascending (merambat ke atas) mengenai akar saraf-saraf spinal dan perifer.
Terkadang mengenai saraf-saraf cranial. Memiliki rangkaian klinis dengan
variabel yang tinggi. (Symposium Guillain BarreSyndrom, di Brussel,
1937).
Guillain Bare’ Syndrom adalah ganguan kelemahan
neuro-muskular akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada
kelumpuhan total, tatapi biasanya paralisis sementara ( Doenges:369).
Etiologi
Guillain Barre Syndrom
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat
diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa
keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya
SGB, antara lain:
a.
Infeksi
b.
Vaksinasi
c.
Pembedahan
d.
Penyakit sistematik
e.
Keganasan
f.
Systemic lupus erythematosus
g.
Tiroiditis
h.
Penyakit addison
i.
Kehamilan atau dalam masa nifas
Manifestasi
klinis Guillain Barre Syndrom
Sulit dideteksi pada awal kejadian, biasanya : Gejala
berupa flu, demam, headache, pegal dan 10 hari kemudian muncul gejala lemah.
Selang 1-4 minggu, sering muncul gejala berupa :
a.
Paraestasia (rasa baal, kesemutan)
b.
Otot-otot lemas (pada tungkai, tubuh dan wajah)
c.
Saraf-saraf cranialis sering terjadi patologi,
shg ganguan gerak bola mata, mimik wajah, bicara,
d.
Gangguan pernafasan (kesulitan inspirasi)
e.
Ganggua saraf-saraf otonom (simpatis dan para
simpatis)
f.
Gangguan frekuensi jantung
g.
Gangguan irama jantung
h.
Gangguan tekanan darah
i.
Gangguan proprioseptive dan persepsi terhadap tubuh
diikuti rasa nyeri pada bagian punggung dan daerah lainnya.
Klasifikasi
Guillain Barre Syndrom
a. Radang
polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang paling
banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon
autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
b. Sindroma
Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan
bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang
biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat
trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi
Anti-GQ1b dalam 90% kasus.
c. Neuropati
aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang nodus
motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh
respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman
dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a,
sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.
d. Neuropati
aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma
saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang
berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
e. Neuropati
panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang; dihubungkan dengan
angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia.
f. Ensefalitis
batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia,
ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut
Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik
ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada
batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat,
namun prognosis BBE cukup baik.
Fase
Guillain Barre Syndrom
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase,yaitu:
a.
Fase
progresif
Umumnya
berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap,
dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung
seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis
pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan
fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
b. Fase plateau.
Fase infeksi
akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase
ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan
khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat
saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang
begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan;
beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,
sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan,
sebelum dimulainya fase penyembuhan.
c.
Fase
penyembuhan
Akhirnya,
fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan
spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin,
dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi
pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien
dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan
penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati
nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi,
dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6
bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang
lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan
saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Patofisiologi
Guillain Barre Syndrom.
Gullain
Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun ewat mekanisme
limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated
demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah
responya terhadap antigen.
Limfosit
yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf
perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan
system penghantaran implus terganggu.
Karena
proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer
dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target
potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system
sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami
degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai
beberapa minggu setelah proses keradangan terjadi
Pathway Guillain Barre Syndrom
Komplikasi
Guillain Barre Syndrom
a.
Kegagalan jantung
b.
Kegagalan pernapasan
c.
Infeksi dan sepsis
d.
Trombosis vena
e.
Emboli paru
Pemeriksaan
Diagnostik
a.
Cairan serebrospinalis: meningkatnya kadar protein,
limposit normal
b.
Elektromyografi: menurunnya konduksi saraf
c.
Test fungsi paru: menurunya kapasitas vital, perubahan
peningkatan pH.
Pemeriksaan
Penunjang Guillain Barre Syndrom.
1.
serebrospinal
(CSS)
Yang paling
khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein
(100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel).
Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah
beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala
klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi.
Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan
dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm
2.
Pemeriksaan
kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi
elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara
lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan
prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian
proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90%
kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan
berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal
dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo
CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka
panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak
sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna,
dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta
berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
3.
Pemeriksaan
darah
Pada darah
tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk
yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif
penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang
ditemui.
Laju endap
darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu
gejala. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat.
Dengan
peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada
kultur jaringan.Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus,
menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya
jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun
EBV.
4.
Elektrokardiografi
(EKG)
Menunjukkan
adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar
atauinverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun
tidak sering.
5.
Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
6.
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang
sedang berjalan (impending).
Penatalaksanaan
Guillain Barre Syndrom
a. Penatalaksanaan Keperawatan (
Perawatan Supportif)
a). Respirasi
Monitor ketat frekuensi dan pola nafas yaitu monitor
oksimetri dan AGD. Pernafasan mekanik, perawatan pasien dengan ventilator mekanik.
b). Kardiovaskuler : monitor ketat
frekuensi, irama, kekuatan denyut nadi (HR ) dan tekanan darah (blood pressure
).
c). Pemenuhan kebutuhan cairan,
elektrolit dan nutrisi.
d). Perawatan secara umum :
- physioterapi
- perawatan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan
- pertahankan ROM sendi
- pertahankan fungsi paru
- kultur urine dan sputum tiap 2 minggu
- pencegahan terhadap tromboemboli
- pemberian antidepressant jika pasien depresi
b. Penatalaksanaan Medis
a). Pengobatan Spesifik
Plasmas exchange (plasmaphoresis) lebih efektif dalam
7 hari dari timbulnya serangan / gejala. Diperlukan filter khusus yang
menyerupai filter pada dialisa ginjal. Filter ini digunakan untuk menyaring
keluar antibodi-antibodi (merupakan media dari system imun) yang menyerang dan
merusak lapisan myelin dan saraf-saraf perifer. Tak ada pedoman yang pasti
dalam melakukan tindakan ini,namun umumnya sekitar 3-5 liter dari plasma pasien
disaring keluar dan digantikan pada waktu yang sama dengan plasma atau plasma +
normal saline. Setiap hari setelah terapi selesai, pasien diberi ±
4-5 unit FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk menggantikan factor pembeku
darah yang dapat ikut tersaring keluar. Penggantian plasma diharapkan dilakukan
setiap hari selama 3-5 hari dan biasanya berhasil dengan sangat baik,
namun jika pasien tidak berespon terhadap terapi ini sampai hari ke lima
maka terapi / tindakan ini tidak diulangi. Tindakan penggantian plasma ini
telah terbukti berhasil mencegah pasien menggunakan ventilator atau mengurangi
lamanya pasien menggunakan ventilator.Masalah yang timbul dengan tindakan
penggantian plasma antara lain :
o Biayanya mahal.
o Dapat menyebabkan hipotensi,
arythmia, haematoma, thrombus dan komplikasi yang mengarah terjadinya sepsis.
o Membutuhkan perawat yang trampil.
b). Pemberian immunoglobulin secara
intravena yang diberikan dengan dosis 0,4 g/kg selama 5 hari berturut – turut.
c). Cairan , elektrolit dan nutrisi.
d). Sedative dan analgetik.
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Pengkajian
Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur,
jenis kelamin, statusv
Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahanv
Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin
memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita
penyakit.v
2. Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing)v
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu,
menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.
B2 (Bleeding)v
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah
kemerahan.
B3 (Brain)v
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi
nyeri turun, perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh,
afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.
B4 (Bladder)v
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine,
hilangnya sensasi saat berkemih.
B5 ( Bowel)v
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen,
peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
B6 (Bone) Gangguan mobilitas fisik-resiko
cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.
Pemeriksaan FT
Anamnesis
– Keluhan utama pasien
•
Rasa lemas seluruh badan dan disertai adanya rasa
nyeri
•
Paraestasia jari kaki s/d tungkai
•
Progresive weakness > 1 Ekstremitas
•
Hilangnya refleks tendon
– Pendukung
•
Weakness berkembang cepat dalam 4 minggu
•
Gangguan sensory Ringan
•
Wajah nampak lelah meliputi otot-otot bibir terkesan bengkak
•
Tachicardi, cardiac arytmia, Tekanan Darah labil
•
Tidak ada demam
•
Inspeksi
– Tampak
kelelahan pada wajah
– Otot-otot
bibir terkesan bengkak
–
Kemungkinan adanya atropi
–
Kemungkinan adanya tropic change
•
Palpasi
– Nyeri
tekan pada otot
•
Auskultasi
– Breathsound
terdengar cepat
•
Vital Sign
– Blood
Preasure
•
Labil (selalu berubah-ubah)
– Heart Rate
•
Tachicardy
•
Cardiac arythmia
–
Respiratory Rate
•
Hyperventilasi
Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar
•
Aktif
– Kekuatan
otot
•
Pasif
– Lingkup
Gerak Sendi, endfeel
• Tes
Isometrik Melawan Tahanan
– Pada
ketiga tes tersebut dominan menunjukkan adany kelemahan.
– Gangguan
sendi dimungkinkan pada kasus yang telah lama
Prinsip Penanganan
Pemeliharaan sistem pernapasanü
Mencegah kontrakturü
Pemeliharaan ROMü
Pemeliharaan otot-otot besar yng
denervatedü
Re-edukasi ototü
Dilakukan sedini mungkinü
• Deep
breathing Exercise
•
Mobilisasi ROM
•
Monitor Kekuatan Otot hingga latihan ktif dapat dimulai
•
Change position untuk mencegah terjadinya decubitus
Gerak pasif general ekstermitas sebatas
toleransi nyeri untukmencegah kontrakturü
Gentle massage untuk memperlancar
sirkulasi darahü
Edukasi terhadap keluargaü
3.2 Diagnosa keperawatan
1. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan
nafas
2. Resiko tejadi ggn pertukaran gas
3. Ketidakefektifan pola nafas
4. Ggn komunikasi verbal
4. Rencana keperawatan
1. Dx : Resiko terjadi bersihan
saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan peningkatan
produksi saliva
Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih,
stridor (-), sumbatan tidak terjadi
Tindakan:
- Lakukan perawatan EET setiap 2 jam
- Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan
fisiotherapi dan suction
- Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam
jika terdengar stridor atau SpO2 < 95 %
- Monitor status hidrasi
- Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan
- Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab
2. Dx : Resiko terjadi ggn
pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek adanya
atelektasis paru
Tujuan : Setelah dirawat
- BGA dalam batas normal
- Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+
- Cyanosis (-), SpO2 > 95 %
Tindakan:
- Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam
- Monitor SpO2 setiap jam
- Monitor respirasi dan cyanosis
- Kolaborasi :
• Seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I
: E 1:2
• Analisa hasil BGA
3. Dx. : Resiko tinggi terjadi
infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infus
Tujuan : setelah dirawat diharapkan
- Tanda-tanda infeksi (-)
• leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder
(-),
• Suhu tubuh 36,5-37 oC
• Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat
perawatan (-)
Tindakan :
- Rawat ETT setiap hari
-Lakukan prinsip steril pada saat suction
- Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari
- Ganti kateter setiap 72 jam
- Kolaborasi :
• Pengggantian ETT dengan Tracheostomi
• Penggantian insersi surflo dengan vanocath
• Pemeriksaan leuko
• Pemeriksaan albumin
• Lab UL
• Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin
3 X 250 mg
4. Dx : Resiko terjadi disuse
syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan penyakit GBS
Tujuan : Setelah dirawat
-Kontraktur (-)
- Nutrisi terpenuhi
- Bab dan bak terbantu
- Personal hygiene baik
Tindakan:
- Bantu Bab dab Bak
- Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance
setia 24 jam
- Mandikan klien setiap hari
- Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam
- Berikan latihan pasif 2 kali sehari
- Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik
- Monitor status neurologi setiap 8 jam
- Kolaborasi:
• Alinamin F 3 X 1 ampul
DAFTAR PUSTAKA
Hudak,
Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan
Holistik.
Ed,VI. Vol 1. Jakarta: EGC
Doenges,
Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC
Bosch E.P..
1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-mediated
polyradiculoneuropathies. The Neurologist (4);
Carpenito,
Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta:
EGC
Hadinoto, S,
1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Simposium Gangguan Gerak, hal 173-
179, Badan Penerbit FK UNDIP,
Semarang.
Harsono,
1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I : hal 307-310,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Staf
Pengajar IKA FKUI, 1985, Sindroma Guillain Barre, dalam : Ilmu Kesehatan Anak,
Jilid
II : ha;
883-885, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.